Oleh : Eka
Sulistyawati (13709251025)
Tulisan ini dibuat berdasarkan hal-hal
yang disampaikan oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A dalam perkuliahan rutin yang
dilaksanakan di gedung 103 pascasarjana UNY. Dalam perkuliahan tersebut bapak
Prof. Dr. Marsigit, M.A mempersilakan kepada mahasiswa untuk menuliskan satu
atau lebih pertanyaan yang ditujukan kepada beliau terkait materi filsafat.
Berikut adalah hasil refleksinya.
Filsafat merupakan olah pikir, apabila
kehidupan tidak menggunakan pikiran apa yang akan terjadi. Orang yang tidak
menggunakan pikirannya dalam kehidupan dapat diibaratkan seperti orang gila.
Berfilsafat merupakan olah pikir yang reflektif, artinya dapat dikembangkan
dengan suatu pertanyaan mengapa, apa, bagaimana, dimana, seperti apa, dll.
Bahkan ketika kita bertanya mengapa filsafat itu penting?sebenarnya kita telah
menggunakan olah pikir kita atau dengan kata lain kita telah berfilsafat. Agar
kita dapat berfilsafat dengan benar dan
terarah itu harus disesuaikan dengan konteksnya. Orang Islam berfilsafat
berbeda dengan orang Yahudi berfilsafat, dll. Orang yang beragama tentu berbeda
dengan orang yang tidak beragama dalam berfilsafat. Oleh karena itu terdapat beberapan pandangan/paham/aliran filsafat yang
berbeda-beda disesuaikan dengan cara pandang seseorang atau sekelompok orang. Olah
pikir yang masih terbuka spiritual dan non spiritualnya. Cara berfilsafat yang
benar dan terarah adalah :
Tanya siapa dirimu, apa agamamu, darimana
asalmu, apa sukumu, dll. Kadang dalam berfilsafat, bukan jawaban itu yang
dimaksud namun penjelasannya. Misalnya saja darimana engkau itu?saya berasal
dari masa depan, karena sikapku, cita-citaku, sikapku aku orientasikan atau aku
dasarkan dari cita-citaku. Darimana membangun gedung itu?dari atas ke bawah,
karena semua material yang digunakan ditanam atau ditancapkan atau dituang dari
atas ke bawah. Inilah salah satu olah pikir orang berfilsafat, karena
berfilsafat itu memiliki daya bongkar.
Bangsa Timur dikenal sebagai bangsa yang
beragama dan memiliki kepercayaan. Seperti halnya Indonesia, Negara Indonesia
yang memiliki ideologi Pancasila yang didalamnya memuat sila (Ketuhanan yang
Maha Esa), artinya letakkan spiritual sebagai pondasi dan muara dalam
berfilsafat. Setinggi-tingginya pengembaraan pikiran dalam berfilsafat masih
dalam rangka berspiritual.
Berfilsafat haruslah dimulai dengan kesadaran.
Dengan kesadaran kita dapat mengenal dimensi ruang dan waktu. Misalnya, ini
sudah sore, padahal ini siang, makanya kita harus belajar. Orientasi seperti
itu adalah orang yang sudah tidak menggunakan kesadarannya. Di dalam
berfilsafat, kita bisa bereksperimen memanipulasi ruang dan waktu, misal ketika
sedang sholat kita memikirkan ka’bah, artinya kita telah menembus ruang seakan-akan
ka’bah ada di sini. Namun secara meterial untuk melihat ka’bah kita harus naik
pesawat untuk sampai ke Makkah. Misalnya kata kemarin itu tergantung kapan
lamanya, misalnya 1 detik=1000 tahun, maka Plato itu meninggal baru satu detik
yang kemarin. Husserr berpendapat supaya bisa menembus ruang dan
waktu harus bisa melakukan idealisasi dan abstraksi.
Idealisasi yaitu menganggap sempurna sifat yang ada dan abstraksi adalah
kodrat, reduksi. Manusia tidak bisa terbebas dari idelisasi dan abtraksi. Contoh
reduksi, kita hanya bisa melihat apa yang ada di depan kepalamu, di belakang
kepala tidak bisa kita lihat, maka kepala dapat digerak-gerakkan sesuai
kehendak kita. Kehendak itu akan membawa kita memandang dari sudut yang kita
mau.
Berbicara mengenai filsafat dan cara
berfilsafat yang baik dan benar tentu tidak bisa dipisahkan dari objek kajian
filsafat. Objek kajian filsafat adalah yang ada dan yang mungkin ada. Rene
Descrates berpendapat “Engkau ada disitu kalau engkau berfikir dan bertanya”. Secara filsafat membuktikan mimpi dan
kenyataan, jika dengan cara dicubit, di mimpi juga ada rasa sakit. Cara
mebuktikannya adalah dengan cara memikirkannya dan aku sedang bertanya. Misal
dalam suatu konferensi, Indonesia tidak bertanya, tidak mengemukakan gagasannya
maka dalam konferensi itu Indonesia dianggap tidak ada. Dalam kajiannya, objek
ada berarti bisa dilihat dan tidak bisa dilihat. Contohnya adalah arwah, apakah
arwah ada? Ada, karena saya dapat menulis arwah, saya memikirkan arwah. Padahal
kita tidak bisa melihat arwah. Apakah Tuhan ada? Setiap pagi mendengarkan
Adzan, tidak Cuma dilihat/didengar tapi dilakukan padahal kita juga tidak bisa
melihat Tuhan. Salah satu filsuf terkenal, Immanuel Kant membagi dua kriteria
yaitu yang bisa kita lihat, kita pikirkan dengan panca indera (fenomena), yang
tidak bisa dipikirkan dan dilihat dengan panca indera (noumena). Contoh noumena
: Namun arwah itu tidak bisa dipanca indera. Ada (bisa dilihat), ada (tdk bisa
dilihat). Tuhan itu ada, malaikan itu ada tapi tidak bisa dilihat. Sedangkan contoh fenomena adalah ketika kita
sedang belajar menulis menggunakan laptop, itu merupakan fenomena karena kita
bisa merasakan, dan orang lain tahu apa yang kita lakukan.
Berfilsafat itu menjelaskan, karena begitu
pentingnya penjelasan. Tidak mungkin jika tidak menggunakan bahasa analog.
Bahasa analog mampu mengkomunikasikan unsur-unsur dalam dimensi yang
berbeda-beda. Misal kehidupan orang tua dan orang muda memiliki kehidupan yang
berbeda namun dapat dikomunikasikan dengan bahasa analog. Kata2 cinta dapat
menjadi analog atau bukan. Kalau mencinta umat manusia, kalau diarahkan kepada
arah tertentu (satu titik) (bukan). Menggunakan bahasa analog karena kekurangan
atau ketidaksempurnaan manusia di dunia ini. Sehingga ada penyakit bahasa,
misal: bisa dapat diartikan dapat dan racun. Artinya bahasa itu sakit (punya
kelemahan) dilihat dari sisi filsafat, karena satu kata bisa memiliki banyak
makna. Banyak makna itu penting agar bisa mengkomunikasikan dimensi yang
berbeda. Didaerah pusat kerajaan merupakan Struktur vertikal menggunakan bahasa
analog, semakin jauh dari kerajaan bahasanya semakin datar. Dimana ada struktur
kekuasaan pasti ada dimensinya. Misal di jogja memiliki nyanyian seorang
ksatria membela negara, kalau cilacap nyanyiannya waru doyong, pacul goang
(yang dilihat saja, tidak ada struktur hierarkis) strukuturnya horisontal. Sapi
manak, wedus manak, bojoku manak. Paham tetntang dimensi ruang dan waktu, sopan
dan santun tentang dimensi ruang dan waktu. Filsafat pendidikan matematika,
harus sopan dan santun dalam bermatika, dengan mengetahui matematika itu apa.
Misal anak kecil ketika akan memasukkan apapun ke mulut disebut “Emplok”, makan
apapun jadi dibilang “Ngemplok sego, ngemplok iwak,dll”. Orang yang bertata krama itu adalah orang
yang berilmu, karena tata krama itu adalah ilmu. Contoh analogi yang lain
misalnya “bekas rektor”, bekas itu bahasa dimensi rendah apabila naik tingkatan
atau dimensinya “mantan rektor” . didalam karakter wayang, merah berarti
berani, putih berarti suci, agama Islam identik dengan warna hijau (bahasa
analog). Budaya berkembang karena bahasa analog, bahasa analog lebih tinggi
dibandingkan bahasa kiasan. Misalnya orang jawa ketika hari raya membuat
ketupat yang artinya “lepat” maknanya memohon ampun atas semua kesalahan. Suara
adzan artinya istirahat dari bekerja dan segera sholat. Dalm filsafat misal
“ada dua batu sedang bercinta” secara teknologi dapat disimulasikan menggunakan
film dua pemuda sedang dimabuk asmara, mereka berdua menggunakan cincin dari
batu dan keduanya sedang menari. Sehingga dengan menggunakan kamera dapat
dishooting dua batu saja yang sedang menari-nari.
Banyaknya suatu pembagian kriteria dan
bermacam-macamnya paham adalah suatu bukti beragamnya cara berfikir dan
berpandangan orang maupun kelompok orang. Salah satu pembagia kriteria yang
kita kenal adalah metafisika. Aristoteles mengartikan metafisika sebagai “makna
dibalik sesuatu”. Contohnya Jilbab secara harfiah adalah penutup mata, namun
maknanya adalah kecantikan, spiritual, dll. Angka 4, fisiknya 4, namun
metafisiknya adalah angka 4 lebih besar dari 4, 2, dan 1. Contoh lainnya adalah
menyanyi islami secara harfiah adalah suatu hiburan namun maknanya adalah untuk
berdakwah yaitu mengajak si pendengar mengikuti isi lagu yang dibawakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar