Oleh : Eka Sulistyawati (13709251025)
PPs UNY Pendidikan Matematika 2013 Kelas B
Artikel ini merupakan
artikel refleksi perkuliahan filsafat yang dengan pengampu Prof. Dr. Marsigit,
M.A pada tanggal Kamis, 10 Oktober 2013. Seperti pada perkuliahan sebelumnya,
metode yang digunakan dalam perkuliahan ini adalah dengan membahas beberapa pertanyaan
mahasiswa yang sifatnya terbuka. Hal ini dilakukan berdasarkan pendapat
Socrates yang menyatakan bahwa ilmu adalah pertanyaan-pertanyaanku. Artinya
ilmu pengetahuan dimulai dari sebuah pertanyaan, apa, mengapa, dimana, siapa,
dan bagaimana. Maka terdapat beberapa inti pertanyaan yang kemudian ditulis
menjadi sebuah refleksi sebagai berikut.
A.
Pasrah dan
Maknanya
Dalam menghadapi sesuatu hal, kadang
manusia merasa pasrah. Pasrah dapat memiliki baberapa arti. Pasrah dapat
berarti patah semangat atau pasrah dapat diartikan sebagai berserah diri.
Pasrah sebagai berserah diri artinya berikhtiar semaksimal mungkin tetapi
hasilnya diserahkan kepada Allah SWT. Rasa pasrah ini timbul karena sifat
ketidaksempurnaan manusia yang pada hakekatnya manusia hanya bisa berikhtiar
tanpa bisa menentukan kualitas atau pencapaian hasil yang pada nantinya akan
diperoleh. Ketidaksempurnaan manusia mengakibatkan adanya ilmu artinya
ketidaksempurnaannya itu mendorong rasa ingin tahu tentang sesuatu hal, rasa
ingin tahu tersebut merupakan benih dari suatu pertanyaan, pertanyaan merupakan
sumber dari ilmu (Socrates). Mengingat ada sisi positif dari sebuah
ketidaksempurnaan, manusia hendaknya :
1.
Bersyukur atas ketidaksempurnaan itu. Ketidaksempurnaan ini
hendaknya membawa manusia ke dalam kehidupan yang lebih baik artinya manusia
selalu berusaha mencapai apa yang mereka inginkan.
2.
Senantiasa mohon ampun, karena ketidaksempurnaan menyebabkan
manusia bereksperimen melakukan kesalahan. Sesuai dengan Firman Allah dalam Al- Quran Surat An-Naml ayat 19 yang
terjemahannya “Ya Tuhanku, berilah aku
ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku
dan kepada kedua ibu-bapakku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau
ridhai, serta masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu
yang shalih”.
Karena kita sedang dalam rangka
berfilsafat, maka ranah kajian filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin
ada. Yang sudah terjadi atau yang sudah ada disebut dengan takdir. Sedangkan yang
belum terjadi atau yang mungkin ada berupa potensi yang perlu diikhtiarkan atau
diusahakan. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam Surat Ar-Ra’d ayat 11 yang terjemahannya “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum
itu sendiri yang mengubah apa-apa yang pada diri mereka”. Berbicara masalah nasib, saya teringat dengan
seorang pengarang buku yang mengatakan “jodoh itu memang benar ditangan Tuhan,
tapi apabila kita tidak meraihnya jodoh akan tetap di tangan Tuhan”. Hal ini
artinya sama bahwa usaha dan kerja keras sangatlah penting, dan janganlah
semata-mata menanti nasib yang diberikan Tuhan hanya dengan berdiam diri.
Artinya jika kita hanya terperangkap
dalam fatalisme (pasrah dengan nasib yang diberikan Allah) padahal Allah tidak
mengubah nasib suatu kaum jika tidak berusaha, maka seperti punguk yang
merindukan bulan. Tidak ada manusia yang dapat memperoleh uang jika hanya
berdiam diri, tidak ada manusia yang merasa kenyang jika tidak mencari makan,
tidak ada manusia yang merasa teduh jika tidak mencari keteduhan, dll.
B.
Mengapa enak
adalah hedonisme?
Hedonisme adalah
pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari
kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin untuk menghindari perasaan-perasaan
yang menyakitkan. Selain itu hedonisme juga memandang bahwa kesenangan atau
kenikmatan merupakan tujuan hidup manusia. Aristoppus membagi kesenangan dalam
bentuk gerakan yaitu :
a. Gerak kasar yang menyebabkan ketidaksenangan seperti rasa
sakit
b. Gerak halus yang membuat kesenangan
c. Tidak bergerak yaitu sebuah keadaan netral seperti kondisi
saat tidur.
Selain itu ia
juga melihat kesenangan sebagai hal yang aktual artinya kesenangan terjadi
sekarang dan diwaktu ini. Kesenangan bukan masa lalu atau masa depan. Masa lalu
hanya ingatan akan kesenangan dan masa depan adalah hal yang belum jelas. Tokoh
hedonisme lain adalah Epikuros. Menurutnya orang yang bijaksana bukanlah orang
yang memperbanyak kebutuhan, tetapi mereka yang membatasi kebutuhan agar
mencapai kepuasan. Atau dengan kata lain orang yang bijaksana adalah orang yang
menghindari tindakan yang berlebihan. Disesuaikan dengan era sekarang ini hal
yang bersifat kesenangan atau ketidaksenangan adalah penilaian menurut individu
masing-masing. Senang atau tidak senang adalah cara kita mengartikan sebuah
keadaan. Dalam menyikapi suatu keadaan hendaknya kita selalu bersyukur atas apa
yang diberikan Allah SWT setelah kita berusaha.
C. Marilah Senantiasa Memohon Ampun
Sadar atau tidak sadar setiap saat kita
telah melakukan reduksi, berbuat tidak adil, melakukan eliminasi, dan
menentukan pilihan. Berawal dari sifat manusia, bahwa manusia memiliki
ketidaksempurnaan dan keterbatasan. Ketidaksempurnaan dan keterbatasannya ini
yang mengakibatkan manusia bersifat reduksionis. Bayangkan saja kita tidak
pernah bisa melihat punggung kita sendiri atau leher (githok :Jawa) kita
sendiri, hal inilah yang disebut reduksionis artinya kita tidak bersifat adil
terhadap punggung dan leher bagian belakang yang sesungguhnya memiliki
kesempatan dan hak yang sama untuk dilihat. Karena sifat reduksionis ini manusia
harus meminta maaf setiap saat terhadap benda-benda yang direduksi itu, karena manusia
selalu berlaku tidak adil terhadap setiap hal atau benda.
Masih mengenai reduksi, secara harfiah
kehidupan ini adalah memilih dan menentukan. Apa yang dipilih diambil,
sedangkan yang tidak terpilih dieliminasi. Kemampuan memilih dapat menentukan
keberhasilan kita karena berpengaruh pada tepat atau tidaknya untuk keperluan
kita. Sehingga kadang manusia melakukan kesalahan-kesalahan dalam memilih.
D.
Bagaimana Mengatasi
Perselisihan
Secara filsafat perselisihan merupakan sintesis
dua kekuatan horisontal. Sehingga untuk
mengatasinya dilakukan dengan mendatangkan kekuatan vertikal yang mengeliminir
kekuatan horisontal. Gunakan perbedaan dimensi kuasa. “Aku ki sing paling tua
nang keluargamu, wis do arep damai ora?”. Misalnya saja ketika ada dua kucing
yang sedang berkelahi, sehingga untuk melerainya diperlukan kekuatan lain,
misalnya harimau. Begitupula dengan manusia.
Sadar atau tidak sadar kita mengenal
beberapa dimensi kekuatan, sekurang-kurangnya kita menyadari ada paling tidak 2
dimensi kekuatan yaitu kekuatan horisontal dan kekuatan vertikal. Oleh karena
itu dengan adanya beberapa dimensi kekuatan ini adanya suatu hukum bahwa “yang
kuat yang menang, yang lebih pintar/memiliki banyak ilmu mempermainkan yang
kurang berilmu”, dll.
Seringkali
adanya penyalahgunaan kekuasaan, misalnya saja saat ini banyak para pemimpin
bangsa yang menyalahgunaan kekuasaan. Misalnya saja baru-baru ini Akil Muchtar
seorang Ketua Mahkamah Konstitusi diduga menerima suap dalam Sengketa Pemilu
Kada Kabupaten Lebak dan Kabupaten Gunung Mas. Inilah salah satu bukti kadang
manusia tidak bisa mengemban kekuasaannya untuk kemaslahatan masyarakat
umumnya, namun kekuasaan hanya dijadikan ajang untuk mengisi perut dan
menggembungkan rekening bank nya sendiri. Padahal dalam dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
Radhiyallahu’anhu menyatakan “Dari
Nabi Shallallahu alaihi wassalam bahwa beliau bersabda: Ketahuilah!
Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja yang memimpin
rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang
dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan
dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi
rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban
terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan
ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah!
Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya”.
Oleh karena itu, marilah kita mulai dari
diri sendiri untuk memimpin diri sendiri, mengomandani hati kita dan
menempatkan spiritual di atas setiap yang kita lakukan agar semua yang kita
lakukan berorientasi memperoleh Ridho Allah SWT, dan suatu saat kita dapat
mempertanggungjawabkannya kelak. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar