Rabu, 16 Januari 2013

Fakta, Potensi, dan Cita-cita Oleh : Eka Sulistyawati (09301244002)


    Artikel ini dibuat berdasarkan hal-hal yang disampaikan pada mata kuliah filsafat pada hari Kamis, 20 September 2012. Kuliah filsafat pada hari itu adalah sebuah fakta, karena memang benar bahwa saya mengikutinya, mendalaminya, ikut terlibat di dalamnya, dan saya sebagai pelaku dalam kejadian itu. Lalu yang seperti apakah yang disebut cita-cita?
      Sebelum saya menulis artikel ini, artikel ini adalah sebuah cita-cita, artikel ini masih berada di angan-angan saya, belum dalam kejadian yang benar-benar terjadi. Tetapi tahukan, setelah saya menuliskan huruf “F” untuk mengawali tulisan ini, bukan lagi dapat kita sebut sebagai cita-cita, melainkan sebuah fakta yang belum sepenuhnya menjadi fakta. Ketika saya menuliskan huruf “FA” artikel ini adalah sebuah fakta yang tingkatannya lebih tinggi dibanding ketika saya menuliskan “F” saja. Dan ketika saya menulikan “FAK” artikel ini tetap menjadi fakta yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan saat saya menuliskan “F” dan “FA” begitu seterusnya, hingga saya mengakhiri artikel ini dengan menuliskan “.” Artikel ini tetap menjadi fakta.
      Dari contoh di atas, sangat mudah kita artikan seperti apa kejadian-kejadian yang termasuk cita-cita dan seperti apa kejadian yang termasuk fakta. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, kita serigkali tak mampu memilah-milah keadaan atau kejadian mana yang merupakan fakta dan keadaan yang sebenarnya hanya berlangsung dalam khayalan atau imajinasi daya pikir kita atau yang seringkali kita sebut sebagai cita-cita. Berdasarkan materi perkuliahan filsafat minggu lalu, Bapak Marsigit menyampaikan metode hidup dibagi menjadi dua yaitu fakta dan potensi. Lalu apakah potensi dan cita-cita merupakan suatu hal yang sama?
      Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, potensi adalah kemampuan yang memungkinkan dapat dikembangkan, kesanggupan untuk berbuat atau melakukan sesuatu, daya, sesuatu yang dipandang dapat menghasilkan (menguntungkan), sedangkan cita-cita adalah keinginan, angan-angan, kehendak yang selaluada dalam pikiran, tujuan yang sempurna akan dicapai atau dilaksanakan. Berdasarkan pengertian potensi dan cita-cita di atas, apakah anda apakah potensi termasuk cita-cita? Apakah potensi merupakan himpunan bagian dari cita-cita?
      Menurut saya “YA”, mari belajar dari contoh “Sejak kecil Ibnu pandai bermain gitar” ini merupakan suatu potensi. Setiap orang yang memiliki potensi, (kemampuan yang memungkinkan dapat dikembangkan). Dari kata-kata memungkinkan dapat dikembangkan, berarti sesorang yang memiliki potensi memiliki “keinginan, angan-angan, kehendak yang ada dalam pikiran”. Hal ini sesuai dengan definisi cita-cita. “Ibnu ingin menjadi seorang komposer lagu” ini merupakan cita-cita. Sama halnya bila “Ibnu tidak ingin mengembangkan kepandaiannya bermain gitar karena ibunya tidak menyukai bakatnya ini”, inipun juga merupakan suatu cita-cita. Jadi, setiap ada potensi pasti ada cita-cita, entah itu cita-cita untuk mengembangkan dan mempertahankan, atau cita-cita untuk menghilangkan dan melupakan.
      Tetapi lain halnya jika saya memiliki cita-cita menjadi seorang penulis, tetapi saya tidak memiliki keahlian dalam berkata-kata, merangkai bait-bait kata, dan berimajinasi tentang apa yang saya tulis, inilah yang disebut cita-cita ada tapi potensi tidak ada. Jadi belum tentu yang memiliki cita-cita juga memiliki potensi.
Memiliki cita-cita tetapi tidak memiliki potensi
 
Dalam matematika seseorang yang memiliki cita-cita tetapi belum tentu memiliki potensi dapat digambarkan sebagai berikut :
 





Dihubungkan dengan apa yang sedang kita pelajari sekarang, yaitu filsafat. Berdasarkan salah satu sumber dari internet yang saya ambil, filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Berdasarkan kalimat yang saya “tebalkan” apakah filsafat adalah suatu cita-cita? Jika iya, mengapa? Mohon penjelasan dari bapak, terima kasih.

ALIRAN FILSAFAT DAN PENERAPANNYA Oleh : Eka Sulistyawati (09301244002)


Filsafat itu ilmu, secara filsafat ilmu itu diperoleh dari pertanyaan kemudian baru dipelajari, kalau tidak ada pertanyaan tidak ada sesuatu yang ingin dipelajari atau diketahui. Artinya jika tidak ada pertanyaan maka tidak ada ilmu.
      Pada perkuliahan kelima ini, bapak Dr Marsigit mengemukakan macam-macam aliran filsafat beserta tokoh-tokohnya. Salah satu diantaranya adalah, aliran filsafat Foundationalisme, Formalisme, Intuisionisme, dan Dualisme. Sedangkan penjelasannya akan dituliskan sebagai berikut :
a.       Fondasionalisme
Jika kita membaca buku, bagaimana kita bisa mempercayai yang tertulis di buku itu. Kita membutuhkan penjelasan bahwa penulisnya kompeten dan mereka sangat ahli. Bagaimana kita bisa tahu mereka sangat ahli? Kita dapat mengatakan bahwa kita mengenal salah satu dari penulis buku itu dan dapat dipercaya. Mengapa dapat dipercaya? Kita bisa menjawab dari perilaku kesehariannya. Jika tidak diSTOP pertanyaan mengenai hal ini tidak akan ada habisnya.Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan lagi kebenarannya, dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut. Para penganut teori ini membedakan antara dua kepercayaan dalam pembenaran. Yaitu kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan.
·         Kepercayaan Dasar
Kepercayaan dasar adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya, sehingga dapat digunakan sebagai fondasi bagi kepercayaan-kepercayaan lain yang bersifat simpulan.
·         Kepercayaan Simpulan
Kepercayaan simpulan adalah kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau lebih kepercayaan dasar.
b.      Intuisionisme
Kapan kita bisa membedakan besar dan kecil, jika kita tidak bisa mengatakan kapan, kita termasuk golongan intuisinisme, tidak memakai permulaan. Begitu pula dengan kapan kita bisa membedakan laki-laki dan perempuan. Maka banyak sekali hal-hal yang kita tidak tahu kapan dimulainya, itulah yang disebut dengan intuisionisme. Apakah kita mengerti angka 2 setelah mengerti angka 1? Apakah setelah belajar di perguruan tinggi? Apakah mengerti setelah didefinisikan? Jawabannya TIDAK. Pemahaman kita tentang 2 itulah yang disebut intuisi, karena sejak kecil kita telah dibiasakan dengan “mata saya dua, kaki saya dua, telinga saya dua, dll”.
c.       Dualisme
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Contoh dari dualisme adalah pandangan tentang baik dan buruk, manusia duuiuiciptakan hanya laki-laki dan perempuan, tidak ada 80 % laki-laki, 20% perempuan, hal ini sesuai dengan kitabnya/ayatnya. Banci itu sebenarnya hanya pengaruh pikiran kita saja, cerita Amerika(transgender) yang memutuskan dirinya ingin menjadi laki-laki. Jika kita berusaha memeluk Agama Islam secara Kaffah, maka kita harus yakin bahwa tidak ada transgender, yang ada hanya laki-laki maupun perempuan. Contoh lain dualisme adalah habluminannas, habluminallah, sebagai makluk sosial maupun makhluk Tuhan. Hanya Tuhan ( Kaum Fatal), hanya manusia saja (Kaum Fital). Hidup itu hanya jarak antara Fatal dan Fital. Berdoalah seakan-akan kamu akan mati nanti, berusahalah kamu masih akan hidup 1000 tahun lagi.
Kita tidak hanya penganut formalisme, intuisionisme, ataupun dualisme saja. Tetapi kita itu menganut berbagai macam aliran, yaitu menganut formalisme sekaligus intuisionisme sekaligus dualisme sekaligus fondasionalisme, dll.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Dualisme

FILSAFAT DAN KARAKTER Oleh : Eka Sulistyawati (09301244002)


      Dalam waktu-waktu dekat ini kata-kata karakter sudah tidak asing lagi bagi kita. Mengapa? Banyak sekali orang-oarang, sekelompok orang, universitas, sekolah, dan instansi menggalakkan dan mengunggulkan pendidikan karakter sebagai tema atau slogannya. Lalu apakah yang sebenarnya disebut karakter?
      Dalam ilmu psikologi karakter adalah sifat. Dalam versi lain karakter adalah berarti dari siapa dan untuk siapa. Kita tidak bisa menyebut bahwa orang Belanda itu tidak memiliki karakter, karena telah menjajah dan menguasai Indonesia selama 350 tahun. Menurut definisi karakter (dari siapa dan untuk siapa) orang Belanda itu sangat memiliki karakter, karena dapat menguasai Indonesia. Jika kamu seorang mahasiswa karakter seorang mahasiswa itu tentu lain dengan karakter dosen, lain dengan karakter orang tua. Walapun dalam kenyataannya ada karakter umum, yaitu karakter yang disepakati oleh negara, bangsa, sekelompok orang, dll.
      Karakter juga bisa diartikan sebagai sifat yang melekat pada diri objek. Misal hijau adalah karakter dari daun, cream adalah karakter dari tembok, kamu mengantuk itu karakter dirimu sekarang. Setiap benda memiliki karakter masing-masing.
      Tak jarang kita menilai sifat orang lain. Misalnya engkau menganggap kakakmu pelit, itu berarti engkau telah menjatuhkan sifat kepada kakakmu. Dalam filsafat, engkau menjatuhkan karakter kepada kakakmu itu sama hebatnya dengan jatuhnya bom atom di Hirosima. Hati2 menjatuhkan karakter. Anteseden (karakter 1 jatuh pada karakter 2). Oleh karena itu berbicara karakter yang dihubungkan dengan filsafat, dalam kuliah filsafat kita diharapkan untuk tidak pasif, pasif dalam hal ini adalah kita menganggap dengan berangkat kuliah, mendengarkan bapak Dr Marsigit berbicara, kita akan mendapatkan hal yang banyak dari filsafat karena yang demikian itu berarti kita mengharapkan Bapak Marsigit menjatuhkan karakternya. Maka dari itu jadilah diri kita sendiri, jadikanlah pak Marsigit sebagai sumber dalam belajar filsafat, sarana belajar filsafat, karena dari elegi-elegi buatan beliau kita bisa berlatih berfilsafat. Karena apabila tidak demikian, pak Marsigit sama saja menjatuhkan beberapa karakter dari kita.
      Implikasinya dalam pembelajaran, guru hobi menjatuhkan karakter siswanya. Siswanya ingin dijadikan bayang-bayangannya. Seperti yang bapak Marsigit tuliskan dalam “Elegi Seorang Guru Menggapai Kesempatan, guru dikatakan menutup sifat murid-muridnya apabila, jika guru mendiskripsikan ciri-ciri muridnya secara sepihak. Jika guru mengatakan muridnya sebagai malas, padahal dia belum tentu malas, maka yang demikian itu guru telah menutupi sifat-sifat muridnya. Jika guru mengatakan bahwa muridnya bodoh, padahal belum tentu ia bodoh, maka yang denikian itu guru telah menutupi sifat muridnya. Ketika guru berbicara sementara murid mendengar, maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika guru bekerja sementara murid melihat, maka itu adalah proses menutupi sifatnya. Ketika guru berinisiatif sementara murid hanya menunggu, itu adalah proses menutupi sifatnya. Ketika guru menyuruh siswa maka itu adalah kejadian lain dari kegiatan menutupi sifat muridnya”.  Mengapa seseorang bisa menjatuhkan karakter kepada orang lain? Dasarnya adalah berkuasa. Engkau duduk di kursi, diam, itu engkau telah berkuasa duduk, engkau berdiri itu artinya engkau berkuasa untuk berdiri.  
      Disesuaikan dengan maraknya pengaplikasian pendidikan karakter di instansi-instansi pendidikan. Masih banyak kita temui orang atau siswa-siswa yang tawuran. Tawurannya seorang kyai berbeda dengan tawurannya seorang rektor, tawurannya seorang mahasiswa berbeda dengan tawuranya orang awam. Tidak jarang kita dengar ada mahasiswa yang tawuran, itu dikarenakan mereka tidak bisa mengelola amarahnya. Maka sebenar-benarnya hidup adalah mengolah dan mengelola karakter.

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN Oleh : Eka Sulistyawati


Perlu kita sadari bahwa ada banyak sekali aliran filsafat. Dari berbagai filsafat yang ada, terdapat tiga aliran paham yang dirasakan masih dominan pengaruhnya hingga saat ini, yang secara kebetulan ketiganya lahir pada jaman abad pencerahan menejelang zaman modern. Ketiga aliran itu adalah sebagai berikut :
(1)   Nativisme atau Naturalisme,
      Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar, kalau ibunya pandai berhitung maka anaknya pandai berhitung, dlsb.
      Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak  didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya.
      Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa jika anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar.
      Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.
(2)   Empirisme atau Environtalisme,
      Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri = pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa lahir manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan suci, tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan.
      Dalam teori belajar mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik. Pengalaman belajar yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
      Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Dengan demikian, dipahami bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan penting terhadap keberhasilan peserta didiknya.
      Menurut Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan behavioral, karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka
(3)   Konvergensionisme atau Interaksionisme,
     Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju satu titik pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar (bakat, keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangannya, maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan. Akan tetapi bakat saka tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tersebut, tidak cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal mempunyai bakal untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan menjadi menjadi kenyataan, jika anak tersebut tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia.
      Perintis aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia  disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Bakat yang dibawa anak sejak kelahirannya tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Jadi seorang anak yang memiliki otak yang cerdas, namun tidak didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka kecerdasakan anak tersebut tidak berkembang. Ini berarti bahwa dalam proses belajar peserta didik tetap memerlukan bantuan seorang pendidik untuk mendapatkan keberhasilan dalam pembelajaran.
      Ketika aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, empirisme dan konvergensi, dikaitkan dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan  (nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah. Sedangkan aliran yang terakhir (konvergensi) pada umumunya diterima seara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang seorang peserta didik dalam kegiatan belajarnya. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh-kembang itu.
      Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang mempengaruhi peserta didik tersebut. Selanjutnya menurut aliran konvergensi bahwa antara lingkungan dan bakat pada peserta didik yang terbawa sejak lahir saling memengaruhi.
      Dari ketiga aliran di atas, dapat kita sadari bahwa aliran filsafat pendidikan yang kita akui kebenarannya sekarang adalah Konvergesionisme atau Interaksionisme yaitu bahwa perkembangan individu dipengaruhi oleh faktor intern (faktor bawaan) dan faktor ekstern (faktor lingkungan).

Sumber :