Dalam waktu-waktu dekat ini kata-kata
karakter sudah tidak asing lagi bagi kita. Mengapa? Banyak sekali orang-oarang,
sekelompok orang, universitas, sekolah, dan instansi menggalakkan dan
mengunggulkan pendidikan karakter sebagai tema atau slogannya. Lalu apakah yang
sebenarnya disebut karakter?
Dalam ilmu psikologi karakter adalah sifat.
Dalam versi lain karakter adalah berarti dari siapa dan untuk siapa. Kita tidak
bisa menyebut bahwa orang Belanda itu tidak memiliki karakter, karena telah
menjajah dan menguasai Indonesia selama 350 tahun. Menurut definisi karakter
(dari siapa dan untuk siapa) orang Belanda itu sangat memiliki karakter, karena
dapat menguasai Indonesia. Jika kamu seorang mahasiswa karakter seorang
mahasiswa itu tentu lain dengan karakter dosen, lain dengan karakter orang tua.
Walapun dalam kenyataannya ada karakter umum, yaitu karakter yang disepakati
oleh negara, bangsa, sekelompok orang, dll.
Karakter juga bisa diartikan sebagai sifat
yang melekat pada diri objek. Misal hijau adalah karakter dari daun, cream adalah
karakter dari tembok, kamu mengantuk itu karakter dirimu sekarang. Setiap benda
memiliki karakter masing-masing.
Tak jarang kita menilai sifat orang lain.
Misalnya engkau menganggap kakakmu pelit, itu berarti engkau telah menjatuhkan
sifat kepada kakakmu. Dalam filsafat, engkau menjatuhkan karakter kepada
kakakmu itu sama hebatnya dengan jatuhnya bom atom di Hirosima. Hati2
menjatuhkan karakter. Anteseden (karakter 1 jatuh pada karakter 2). Oleh karena
itu berbicara karakter yang dihubungkan dengan filsafat, dalam kuliah filsafat kita
diharapkan untuk tidak pasif, pasif dalam hal ini adalah kita menganggap dengan
berangkat kuliah, mendengarkan bapak Dr Marsigit berbicara, kita akan
mendapatkan hal yang banyak dari filsafat karena yang demikian itu berarti kita
mengharapkan Bapak Marsigit menjatuhkan karakternya. Maka dari itu jadilah diri
kita sendiri, jadikanlah pak Marsigit sebagai sumber dalam belajar filsafat,
sarana belajar filsafat, karena dari elegi-elegi buatan beliau kita bisa
berlatih berfilsafat. Karena apabila tidak demikian, pak Marsigit sama saja
menjatuhkan beberapa karakter dari kita.
Implikasinya dalam pembelajaran, guru
hobi menjatuhkan karakter siswanya. Siswanya ingin dijadikan bayang-bayangannya.
Seperti yang bapak Marsigit tuliskan dalam “Elegi
Seorang Guru Menggapai Kesempatan, guru dikatakan menutup sifat murid-muridnya
apabila, jika guru mendiskripsikan ciri-ciri muridnya secara sepihak. Jika guru
mengatakan muridnya sebagai malas, padahal dia belum tentu malas, maka yang
demikian itu guru telah menutupi sifat-sifat muridnya. Jika guru mengatakan
bahwa muridnya bodoh, padahal belum tentu ia bodoh, maka yang denikian itu guru
telah menutupi sifat muridnya. Ketika guru berbicara sementara murid mendengar,
maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika guru bekerja sementara
murid melihat, maka itu adalah proses menutupi sifatnya. Ketika guru
berinisiatif sementara murid hanya menunggu, itu adalah proses menutupi
sifatnya. Ketika guru menyuruh siswa maka itu adalah kejadian lain dari
kegiatan menutupi sifat muridnya”. Mengapa seseorang bisa menjatuhkan karakter
kepada orang lain? Dasarnya adalah berkuasa. Engkau duduk di kursi, diam, itu
engkau telah berkuasa duduk, engkau berdiri itu artinya engkau berkuasa untuk
berdiri.
Disesuaikan dengan maraknya pengaplikasian pendidikan karakter di
instansi-instansi pendidikan. Masih banyak kita temui orang atau siswa-siswa
yang tawuran. Tawurannya seorang kyai berbeda dengan tawurannya seorang rektor,
tawurannya seorang mahasiswa berbeda dengan tawuranya orang awam. Tidak jarang
kita dengar ada mahasiswa yang tawuran, itu dikarenakan mereka tidak bisa
mengelola amarahnya. Maka sebenar-benarnya hidup adalah mengolah dan mengelola
karakter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar