Rabu, 16 Januari 2013

Kesimpulan Berfilsafat Oleh : Eka Sulistyawati (09301244002)


Tidak mudah bagi para mahasiswa (umumnya) khususnya bagi saya untuk mempelajari filsafat. Mata kuliah filsafat mata kuliah yang baru pertama kali saya tempuh, karena pada jenjang pendidikan sebelumnya saya belum pernah mempelajari mata kuliah atau mata pelajaran filsafat. Awalnya saya hanya bertanya kepada ayah saya, “Pak, filsafat niku mempelajari nopo to?”(dalam bahasa Jawa). Dari pertanyaan saya tersebut, bapak saya menjawab, “Kae nduk, pokoke nek arep nerangke gelas, iso tok delok seko sudut pandang sik bedo-bedo. Misale gelas kui alat kanggo wadah banyu, utawa gelas kui perabot rumah tangga sebangsa piring dan garpu”. Menanggapi jawaban ayah saya dipikiran saya terbersit filsafat itu mempelajari definisi tentang suatu hal yang dilihat dari berbagai macam sudut pandang penglihatannya, rumit, dan jawabannya tidak pasti itulah filsafat menurut saya dulu. Pemikiran saya tentang filsafat yang tidak pasti jawabannya karena notabennya saya mempelajari matematika yang jawabannya pasti, misalnya saja 1+1=2 hal ini sangat berlawanan dengan definisi filsafat yang saya miliki pertama kali.
       Namun, setelah mempelajari filsafat dalam perkuliahan pertama saya. Objek kajian adalah yang ada dan yang mungkin. Yang ada berupa fakta dan yang mungkin ada adalah potensi. Potensi biasanya dapat diwujudkan sebagai suatu cita-cita. Sebelum saya menulis artikel ini, artikel ini adalah sebuah cita-cita, artikel ini masih berada di angan-angan saya, belum dalam kejadian yang benar-benar terjadi. Tetapi tahukah, setelah saya menuliskan huruf “K” untuk mengawali tulisan ini, bukan lagi dapat kita sebut sebagai cita-cita, melainkan sebuah fakta yang belum sepenuhnya menjadi fakta. Ketika saya menuliskan huruf “KE” artikel ini adalah sebuah fakta yang tingkatannya lebih tinggi dibanding ketika saya menuliskan “K” saja. Dan ketika saya menulikan “KES” artikel ini tetap menjadi fakta yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan saat saya menuliskan “K” dan “KE” begitu seterusnya, hingga saya mengakhiri artikel ini dengan menuliskan “.” Artikel ini adalah sebuah fakta.
      Dari contoh di atas, sangat mudah kita artikan seperti apa kejadian-kejadian yang termasuk cita-cita dan seperti apa kejadian yang termasuk fakta. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, kita serigkali tak mampu memilah-milah keadaan atau kejadian mana yang merupakan fakta dan keadaan yang sebenarnya hanya berlangsung dalam khayalan atau imajinasi daya pikir kita atau yang seringkali kita sebut sebagai cita-cita. Berdasarkan materi perkuliahan filsafat minggu lalu, Bapak Marsigit menyampaikan metode hidup dibagi menjadi dua yaitu fakta dan potensi. Lalu apakah potensi dan cita-cita merupakan suatu hal yang sama?
      Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, potensi adalah kemampuan yang memungkinkan dapat dikembangkan, kesanggupan untuk berbuat atau melakukan sesuatu, daya, sesuatu yang dipandang dapat menghasilkan (menguntungkan), sedangkan cita-cita adalah keinginan, angan-angan, kehendak yang selaluada dalam pikiran, tujuan yang sempurna akan dicapai atau dilaksanakan. Berdasarkan pengertian potensi dan cita-cita di atas, apakah anda apakah potensi termasuk cita-cita? Apakah potensi merupakan himpunan bagian dari cita-cita?
      Menurut saya “YA”, mari belajar dari contoh “Sejak kecil Ibnu pandai bermain gitar” ini merupakan suatu potensi. Setiap orang yang memiliki potensi, (kemampuan yang memungkinkan dapat dikembangkan). Dari kata-kata memungkinkan dapat dikembangkan, berarti sesorang yang memiliki potensi memiliki “keinginan, angan-angan, kehendak yang ada dalam pikiran”. Hal ini sesuai dengan definisi cita-cita. “Ibnu ingin menjadi seorang komposer lagu” ini merupakan cita-cita. Sama halnya bila “Ibnu tidak ingin mengembangkan kepandaiannya bermain gitar karena ibunya tidak menyukai bakatnya ini”, inipun juga merupakan suatu cita-cita. Jadi, setiap ada potensi pasti ada cita-cita, entah itu cita-cita untuk mengembangkan dan mempertahankan, atau cita-cita untuk menghilangkan dan melupakan.
Memiliki cita-cita tetapi tidak memiliki potensi
 
      Tetapi lain halnya jika saya memiliki cita-cita menjadi seorang penulis, tetapi saya tidak memiliki keahlian dalam berkata-kata, merangkai bait-bait kata, dan berimajinasi tentang apa yang saya tulis, inilah yang disebut cita-cita ada tapi potensi tidak ada. Jadi belum tentu yang memiliki cita-cita juga memiliki potensi. Dalam matematika seseorang yang memiliki cita-cita tetapi belum tentu memiliki potensi dapat digambarkan sebagai berikut :


 


Dihubungkan dengan apa yang sedang kita pelajari sekarang, yaitu filsafat. Berdasarkan salah satu sumber dari internet yang saya ambil, filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan.
      Setelah mengetahui objek kajian filsafat, perlu bagi kita untuk mempelajari macam-macam aliran filsafat beserta tokoh-tokohnya. Salah satu diantaranya adalah, aliran filsafat Foundationalisme, Formalisme, Intuisionisme, dan Dualisme. Sedangkan penjelasannya akan dituliskan sebagai berikut :
a.       Fondasionalisme
Jika kita membaca buku, bagaimana kita bisa mempercayai yang tertulis di buku itu. Kita membutuhkan penjelasan bahwa penulisnya kompeten dan mereka sangat ahli. Bagaimana kita bisa tahu mereka sangat ahli? Kita dapat mengatakan bahwa kita mengenal salah satu dari penulis buku itu dan dapat dipercaya. Mengapa dapat dipercaya? Kita bisa menjawab dari perilaku kesehariannya. Jika tidak diSTOP pertanyaan mengenai hal ini tidak akan ada habisnya.Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan lagi kebenarannya, dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut. Para penganut teori ini membedakan antara dua kepercayaan dalam pembenaran. Yaitu kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan.
·         Kepercayaan Dasar
Kepercayaan dasar adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya, sehingga dapat digunakan sebagai fondasi bagi kepercayaan-kepercayaan lain yang bersifat simpulan.
·         Kepercayaan Simpulan
Kepercayaan simpulan adalah kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau lebih kepercayaan dasar.
b.      Intuisionisme
Kapan kita bisa membedakan besar dan kecil, jika kita tidak bisa mengatakan kapan, kita termasuk golongan intuisinisme, tidak memakai permulaan. Begitu pula dengan kapan kita bisa membedakan laki-laki dan perempuan. Maka banyak sekali hal-hal yang kita tidak tahu kapan dimulainya, itulah yang disebut dengan intuisionisme. Apakah kita mengerti angka 2 setelah mengerti angka 1? Apakah setelah belajar di perguruan tinggi? Apakah mengerti setelah didefinisikan? Jawabannya TIDAK. Pemahaman kita tentang 2 itulah yang disebut intuisi, karena sejak kecil kita telah dibiasakan dengan “mata saya dua, kaki saya dua, telinga saya dua, dll”.
c.       Dualisme
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Contoh dari dualisme adalah pandangan tentang baik dan buruk, manusia duuiuiciptakan hanya laki-laki dan perempuan, tidak ada 80 % laki-laki, 20% perempuan, hal ini sesuai dengan kitabnya/ayatnya. Banci itu sebenarnya hanya pengaruh pikiran kita saja, cerita Amerika(transgender) yang memutuskan dirinya ingin menjadi laki-laki. Jika kita berusaha memeluk Agama Islam secara Kaffah, maka kita harus yakin bahwa tidak ada transgender, yang ada hanya laki-laki maupun perempuan. Contoh lain dualisme adalah habluminannas, habluminallah, sebagai makluk sosial maupun makhluk Tuhan. Hanya Tuhan ( Kaum Fatal), hanya manusia saja (Kaum Fital). Hidup itu hanya jarak antara Fatal dan Fital. Berdoalah seakan-akan kamu akan mati nanti, berusahalah kamu masih akan hidup 1000 tahun lagi.
Kita tidak hanya penganut formalisme, intuisionisme, ataupun dualisme saja. Tetapi kita itu menganut berbagai macam aliran, yaitu menganut formalisme sekaligus intuisionisme sekaligus dualisme sekaligus fondasionalisme, dll.
      Sebagai makhluk hidup, kita tidak mungkin selamanya berada pada tempat yang sama, kedudukan yang sama, dan pada keadaan yang sama. Sesungguhnya setiap hal yang kita lakukan dalam kehidupan ini selalu menembus dimensi ruang dan waktu, atau dengan kata lain kita selalu berada pada tempat, waktu, dan keadaan yang berbeda, inilah yang dinamakan dengan menembus ruang dan waktu.
Membahas mengenai menembus ruang dan waktu, seseorang yang hebat bukanlah seseorang yang memiliki tubuh kekar, juru pukul, bodyguard, dll tetapi seseorang yang hebat adalah seseorang yang bisa menembus ruang dan waktu. Tuhan menciptakan manusia dengan dimensi yang lengkap yaitu dimensi material, dimensi formal, dimensi normatif, dan dimensi spiritual, penjelasan mengenai dimensi-dimensi tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Dimensi material
Contoh terjun dari pesawat dengan parasut hal ini dapat dikatakan menembus udara.
b.      Dimensi formal
Contohnya dokumen SK Profesor, kenaikan pangkat, pengangkatan jabatan, Ijazah (Surat Keterangan Kelulusan), dll.
c.       Dimensi normatif
Contohnya pikiranku menembus ruang. Misalnya kita berpikir sedang berada di Melbourne, padahal badan kita sedang tidak berada di Melbourne, tetapi pikiran kita sudah sampai di Melbourne.
d.      Dimensi spiritual
Contohnya kekuatan, dan kecepatan doa sangatlah tinggi.
      Secara aksiomatis ruang adalah sesuatu yang memiliki dimensi (misal ruang dimensi dua, dimensi tiga, ruang sampel, ruang vektor, dll). Ruang dalam filsafat dalam wujud normatif, misalnya menembus dikenalnya dirimu di kampungmu, tidak bisa dikalahkan oleh siapapun, dan tidak bisa dibandingkan dengan orang lain.
      Untuk bisa memahami ruang kita menggunakan, sebaliknya untuk memahami waktu kita menggunakan ruang. Misalnya jam (ruang) menunjukkan waktu, jika kita melihat luar kita bisa mengerti ini siang atau malam, dll.
Berikut ini ada metodologi untuk menembus ruang dan waktu :
1.      Pemahaman kita tentang fenomenologi
Tokoh Husserr, ada dua macam yaitu idealisasi (menganggap sempurna sifat yang ada) dan abstraksi (kodrat, reduksi). Maka supaya bisa menembus ruang dan waktu harus bisa melakukan idealisasi dan abstraksi. Manusia tidak bisa terbebas dari idelisasi dan abtraksi. Contoh reduksi, kita hanya bisa melihat apa yang ada di depan kepalamu, di belakang kepala tidak bisa kita lihat, maka kepala dapat digerak-gerakkan sesuai kehendak kita. Kehendak itu akan membawa kita memandang dari sudut yang kita mau.
2.      Pemahaman tentang fondationalisme dan antifondationalism (intuisi)
a.       Fondationalisme
Jika kita membaca buku, bagaimana kita bisa mempercayai yang tertulis di buku itu. Kita membutuhkan penjelasan bahwa penulisnya kompeten dan mereka sangat ahli. Bagaimana kita bisa tahu mereka sangat ahli? Kita dapat mengatakan bahwa kita mengenal salah satu dari penulis buku itu dan dapat dipercaya. Mengapa dapat dipercaya? Kita bisa menjawab dari perilaku kesehariannya. Jika tidak diSTOP pertanyaan mengenai hal ini tidak akan ada habisnya.Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan lagi kebenarannya, dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut. Para penganut teori ini membedakan antara dua kepercayaan dalam pembenaran. Yaitu kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan.
·         Kepercayaan Dasar
Kepercayaan dasar adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya, sehingga dapat digunakan sebagai fondasi bagi kepercayaan-kepercayaan lain yang bersifat simpulan.
·         Kepercayaan Simpulan
Kepercayaan simpulan adalah kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau lebih kepercayaan dasar.
b.      Intuisionisme (Anti Fondationalisme)
Kapan kita bisa membedakan besar dan kecil, jika kita tidak bisa mengatakan kapan, kita termasuk golongan intuisinisme, tidak memakai permulaan. Begitu pula dengan kapan kita bisa membedakan laki-laki dan perempuan. Maka banyak sekali hal-hal yang kita tidak tahu kapan dimulainya, itulah yang disebut dengan intuisionisme. Apakah kita mengerti angka 2 setelah mengerti angka 1? Apakah setelah belajar di perguruan tinggi? Apakah mengerti setelah didefinisikan? Jawabannya TIDAK. Pemahaman kita tentang 2 itulah yang disebut intuisi, karena sejak kecil kita telah dibiasakan dengan “mata saya dua, kaki saya dua, telinga saya dua, dll”.
      Berbicara tentang menembus ruang dan waktu, terbersit dalam pikiran saya adalah mengejar cita-cita, berusaha mendapatkan apa yang ingin kita dapatkan, apa yang ingin kita lakukan, dan apa yang ingin kita peroleh. Untuk itu tidak kita pungkiri lagi sebagai makhluk yang memiliki hasrat, pasti manusia memiliki tujuan hidup (keinginan) untuk masa depannya. Namun tidaklah mudah untuk melakukan semua itu, perlu suatu strategi-strategi khusu untuk mencapainya. Selain strategi khusus, banyak sekali faktor yang mempengaruhi ketercapaian apa yang kita citakan, diantaranya adalah :
a.       Faktor Internal
Faktor internal adalah dorongan dalam diri yang berupa minat, bakat, sehingga dapat meimilih bidang apa yang akan dikembangkan untuk mencapai kesuksesan. Contohnya keinginan untuk menjadi seorang profesor pendidikan matematika, keinginan ini harus disesuaikan juga dengan bidang pendidikan yang kita tempuh, dan keahlian yang kita miliki.
b.      Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah dorongan dari luar (lingkungan). Misalnya dorongan dari orang tua, teman sejawat, saudara, dll. Maka tidaklah salah bagi orang Jawa yang mengatakan “Ojo Cedhak Kebo Gupak”, yang artinya kita harus selektif dalam memilih teman, yaitu teman yang bisa memberikan dorongan kepada kita untuk mencapai apa yang kita cita-citakan.

“Jalaran Saka Kulino” Oleh : Eka Sulistyawati (09301244002)


      Artikel ini adalah artikel review kuliah Filsafat Pendidikan Matematika yang kedua. Dalam kuliah kemarin bapak Dr Marsigit bercerita sebagai berikut :
“Ada seorang laki-laki di Amerika Serikat, profesinya adalah seorang bintang film yang sukses. Ia ingin meneruskan dan “Nguri-uri” karirnya dengan cara ingin memiliki anak laki-laki. Tetapi pada kenyataannya ia memiliki seorang anak perempuan, anak perempuannya itu ia perlakukan seperti layaknya seorang laki-laki mulai dari cara berpakaian, dibiasakan dengan permainan laki-laki, dan semua hal yang berbau dunia laki-laki. Secara fisik anak perempuannya itu mendukung menjadi seorang laki-laki,  kalau dalam bahasa sekarang adalah TOMBOY. Seiring berjalannya waktu, orang tuanya meninggal, dia brusia 35 tahun. Ia memutuskan untuk menemui dokter dan berkonsultasi sebaiknya ia mnjd perempuan atau laki-laki. Dan pada suatu ketika ia memutuskan untuk mnjadi laki-laki”
      Berdasarkan cerita bapak Dr Marsigit di atas, dapat kita lihat betapa kuatnya pengaruh pikiran kita “The power of mind”, betapa kuatnya pengaruh dari suatu pembiasaan. Tak hanya orang Amerika saja yang menyadari kuatnya suatu pikiran dan pembiasaan tetapi orang Jawa juga mengenalnya. Hal ini didasari adanya suatu pepatah “Witing tresno jalaran saka kulino” yang artinya rasa cinta ada karena terbiasa.
      Berbicara mengenai pembiasaan, pada zaman nenek moyang kitapun, mereka telah mengenal pembiasaan, mengapa demikian? Coba kita perhatikan, nenek moyang kita dahulu telah mengenal “ADAT”, misalnya kenduri, yasinan, upacara pengangkatan pemimpin suku, dlsb. Apabila hal ini dikaitkan dengan masalah pendidikan, sebagai calon guru yang kelak akan menghadapi siswa yang bermacam-macam karakternya, hendaknya kita bisa mengadakan suatu aktivitas pembelajaran yang dapat membiasakan anak didik untuk bertingkah laku, berbicara, berpikir, dan melakukan aktivitas lainnya menurut kebiasaan yang baik. Guru tidak semata-mata hanya menyediakan, atau mendoktrin siswa-siswanya untuk bertingkah laku sesuai dengan norma dan kesopanan, tetapi guru juga harus mampu memberi suatu keteladanan.
      Kalian tahu permainan tetris? Pikiran manusia sama seperti permainan tersebut. Setiap input yang dimasukkan kedalamnya akan membentuk sebuah lapisan yang akan menumpuk terus menerus. Lapisan yang sama akan saling tarik menarik dan akan berkumpul menjadi satu. Lapisan-lapisan itu akan membentuk suatu susunan yang berpola, pola milikmu tentu berbeda dengan pola milikku dan miliknya. Perbedaan ini disebabkan karena caraku menyusun balok-balok tetris, tentu berbeda dengan caramu dan caranya menyusun balok-balok tetris itu. Cara menyusun balok tetris itu adalah perumpamaan dari suatu cara atau pola kita berpikir. Akan dibentuk seperti apa susunan balok tetris, pikiran kitalah yang mengendalikannya.
Masih mengenai permainan tetris yang merupakan perumpamaan dari pemikiran kita. Semakin lama dan semakin banyak kita menyusun balok-balok tetris tanpa disertai dengan pemilihan susunan pola yang tepat, balok-balok itu akan menyentuh “DINDING GAME OVER”. Ini sama halnya dengan cara berpikir kita, apabila pikiran kita dipenuhi dengan berbagai macam pilihan tanpa disertai keputusan yang tepat, kita tidak akan menemukan suatu jalan terang dari permasalahan yang kita hadapi. Hal ini terlihat dari cerita yang dikemukakan bapak Dr Marsigit di atas, “Dan pada suatu ketika ia memutuskan untuk menjadi laki-laki”.

Meningkatkan Kualitas Beribadah Oleh : Eka Sulistyawati (09301244002)


Sebagai manusia haruslah kita meyakini bahwa ada suatu Dzat yang menciptakan apa yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini. Dzat itu adalah Allah. Seiring berjalannya waktu, sejak kita lahir hingga dewasa ini, tentulah kita ingin menjadikan diri kita sebagai manusia Islam yang Kaffah. Kesempurnaan atau kekaffahan inilah dapat dilihat dari usaha kita untuk selalu mendekatkan diri kepada sang pencipta. Salah satu usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah yaitu melalui usaha untuk meningkatkan kualitas ibadah kita.
      Segala sesuatu yang menyangkut kita dan Allah adalah urusan yang menyangkut hati. Siapa yang tahu isi hati seseorang? Tentulah hanya orang itu yang tahu. Kecintaannya kepada Allah, besarnya usaha yang ia lakukan kepada Allah, janjinya kepada Allah, dll hanya pribadi manusia itu sendiri yang tahu. Berbicara masalah kepribadian, bapak Marsigit pernah berkata “Kepribadian itu seperti topeng, tidak akan ada yang tahu kepribadian kita walaupun orang yang paling dekat dengan kita sekalipun”. Maka untuk meningkatkan kualitas ibadah kita, harus diawali dari niat yang tulus dari dalam hati dan niat yang lurus dari dalam hati. Janganlah sampai niat kita itu dinodai dengan kesombongan dan keangkuhan, jangan sampai niat kita untuk mendekatkan diri kepada Allah itu hanyalah topeng agar orang lain menilai kita adalah orang yang khusuk. Sebenar-benarnya orang yang sudah merasa dirinya khusyuk maka ia dan pikirannya sudah dipengaruhi mitos. Mitos telah membutakan hatinya, telah membengkokkan hatinya. Salah satu cara agar kita terhindar dari belenggu mitos adalah ikhlas. Memang ikhlas sangatlah gampang diucapkan, namun suatu hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Kesulitan inilah yang mengakibatkan kita membutuhkan seorang guru, baik guru spiritual, guru secara psikologis, guru secara jasmaniah, dll.
      Masih dalam perjuangan untuk menggapai ikhlas. Masing-masing ada gurunya. Misalnya: filsafat ada gurunya, matematika ada gurunya, berbicara ada gurunya, mencari keikhlasanpun juga ada gurunya Jika kita mau mempelajari spritual carilah guru yang tidak hanya mampu menunjuki tapi bisa membimbing dunia dan akhirat.
Ada sebuah cerita tentang Rosulullah dan sahabat-sahabatnya.
Suatu ketika Rosulullah dikerumuni oleh para sahabat, satu dari para sahabat bertanya, “Wahai Rosul, sebenar-benarnya saya ingin tanya kepada rosulullah, saya ingin tanya sebenarnya wajah rosulullah itu seperti apa?” Rosulullah menjawab, “Jikalau kau ingin melihat wajahku, maka tengoklah lubang telinga anak saya”. Para sahabat menghampiri putra Rosulullah dan berkata, “Gelap, tidak ada apa-apanya”. Tetapi ada satu sahabat rosulullah Abu Bakar As Shidiq yang tidak ikut menengok telinga dari putra Rosulullah. Ternyata Abu Bakar As Shidiq tersebut menjawab, “Ketika aku makan, tidur, dan melakukan kegiatan apa saja, bahwa sebenarnya saya sedang memandang wajahmu ya Rosul”.
      Dari kisah tersebut, Abu Bakar As Shidiq melihat wajah Rosulullah sebagai Nur Muhammad atau sinar Muhammad. Dan pada zamannya ia memiliki murid atau pengikut-pengikut yang belajar kepadanya. Maka sebenarnya setiap zaman telah Allah ciptakan guru-guru atau ahli-ahli dalam berbagai macam bidang. Maka jika kita ingin meningkatkan kualitas diri dengan cara mendekatkan diri kepada Allah, hendaknya kita mencari guru spirutual. Yang bisa menentukan siapa guru spiritual adalah diri kita masing-masing, karena masalah spiritual adalah masalah pribadi dan menyangkut hati. Banyaknya guru spiritual di muka bumi ini, menyebabkan adanya berbagai macam pendapat, pendapat inilah yang akan menciptakan suatu aliran. Masing-masing aliran memiliki ciri dan karakteristiknya masing-masing. Namun seharusnya diantara masing-masing aliran hendaknya saling menghormati pendapat. Janganlah suatu perbedaan dijadikan sebagai ajang untuk saling menjatuhkan, mempengaruhi, dan mencari kelemahannya masing-masing.
      Sebagai manusia yang hidup bukan di zaman Rosulullah hidup, kita wajib mempercayai dan meneladani sifat-sifat Rosulullah.  Cara meneladani dan meyakininya bisa dikiaskan seperti saat kita bernafas. Kita tidak bisa melihat seperti apa udara, warnanya udara seperti apa, jernih atau keruh, dsb. Tetapi setiap detik setiap saat kita selalu membutuhkan udara, kita selalu menghirup udara tanpa kita tahu bentuknya seperti apa. Dari sinilah dapat dipelajari bahwa kita tidak perlu memandang wajah Rosulullah secara leterleg (nyata), tetapi pandanglah wajahnya sebagai cahaya yang selalu menerangi langkah kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pandanglah keteladanannya melalu berbagai sumber seperti Al Quran dan hadis. Untuk mempelajari sumber-sumber ini tentulah kita tidak mungkin sendiri, carilah guru spiritual di muka bumi ini yang sesuai dengan hati kita, sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan kita.