Artikel ini adalah artikel review kuliah
Filsafat Pendidikan Matematika yang kedua. Dalam kuliah kemarin bapak Dr
Marsigit bercerita sebagai berikut :
“Ada seorang laki-laki di Amerika Serikat,
profesinya adalah seorang bintang film yang sukses. Ia ingin meneruskan dan
“Nguri-uri” karirnya dengan cara ingin memiliki anak laki-laki. Tetapi pada
kenyataannya ia memiliki seorang anak perempuan, anak perempuannya itu ia perlakukan
seperti layaknya seorang laki-laki mulai dari cara berpakaian, dibiasakan
dengan permainan laki-laki, dan semua hal yang berbau dunia laki-laki. Secara
fisik anak perempuannya itu mendukung menjadi seorang laki-laki, kalau dalam bahasa sekarang adalah TOMBOY.
Seiring berjalannya waktu, orang tuanya meninggal, dia brusia 35 tahun. Ia
memutuskan untuk menemui dokter dan berkonsultasi sebaiknya ia mnjd perempuan
atau laki-laki. Dan pada suatu ketika ia memutuskan untuk mnjadi laki-laki”
Berdasarkan cerita bapak Dr Marsigit di
atas, dapat kita lihat betapa kuatnya pengaruh pikiran kita “The power of
mind”, betapa kuatnya pengaruh dari suatu pembiasaan. Tak hanya orang Amerika
saja yang menyadari kuatnya suatu pikiran dan pembiasaan tetapi orang Jawa juga
mengenalnya. Hal ini didasari adanya suatu pepatah “Witing tresno jalaran saka kulino” yang artinya rasa cinta ada
karena terbiasa.
Berbicara mengenai pembiasaan, pada zaman
nenek moyang kitapun, mereka telah mengenal pembiasaan, mengapa demikian? Coba
kita perhatikan, nenek moyang kita dahulu telah mengenal “ADAT”, misalnya
kenduri, yasinan, upacara pengangkatan pemimpin suku, dlsb. Apabila hal ini
dikaitkan dengan masalah pendidikan, sebagai calon guru yang kelak akan
menghadapi siswa yang bermacam-macam karakternya, hendaknya kita bisa
mengadakan suatu aktivitas pembelajaran yang dapat membiasakan anak didik untuk
bertingkah laku, berbicara, berpikir, dan melakukan aktivitas lainnya menurut
kebiasaan yang baik. Guru tidak semata-mata hanya menyediakan, atau mendoktrin
siswa-siswanya untuk bertingkah laku sesuai dengan norma dan kesopanan, tetapi
guru juga harus mampu memberi suatu keteladanan.
Kalian tahu permainan tetris? Pikiran
manusia sama seperti permainan tersebut. Setiap input yang dimasukkan
kedalamnya akan membentuk sebuah lapisan yang akan menumpuk terus menerus.
Lapisan yang sama akan saling tarik menarik dan akan berkumpul menjadi satu.
Lapisan-lapisan itu akan membentuk suatu susunan yang berpola, pola milikmu
tentu berbeda dengan pola milikku dan miliknya. Perbedaan ini disebabkan karena
caraku menyusun balok-balok tetris, tentu berbeda dengan caramu dan caranya
menyusun balok-balok tetris itu. Cara menyusun balok tetris itu adalah
perumpamaan dari suatu cara atau pola kita berpikir. Akan dibentuk seperti apa
susunan balok tetris, pikiran kitalah yang mengendalikannya.
Masih mengenai permainan tetris yang merupakan
perumpamaan dari pemikiran kita. Semakin lama dan semakin banyak kita menyusun
balok-balok tetris tanpa disertai dengan pemilihan susunan pola yang tepat,
balok-balok itu akan menyentuh “DINDING GAME OVER”. Ini sama halnya dengan cara
berpikir kita, apabila pikiran kita dipenuhi dengan berbagai macam pilihan
tanpa disertai keputusan yang tepat, kita tidak akan menemukan suatu jalan
terang dari permasalahan yang kita hadapi. Hal ini terlihat dari cerita yang
dikemukakan bapak Dr Marsigit di atas, “Dan
pada suatu ketika ia memutuskan untuk menjadi laki-laki”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar