Rabu, 03 Oktober 2012


Fakta, Potensi, dan Cita-cita
Oleh : Eka Sulistyawati (09301244002)

 
    Artikel ini dibuat berdasarkan hal-hal yang disampaikan pada mata kuliah filsafat pada hari Kamis, 20 September 2012. Kuliah filsafat pada hari itu adalah sebuah fakta, karena memang benar bahwa saya mengikutinya, mendalaminya, ikut terlibat di dalamnya, dan saya sebagai pelaku dalam kejadian itu. Lalu yang seperti apakah yang disebut cita-cita?
      Sebelum saya menulis artikel ini, artikel ini adalah sebuah cita-cita, artikel ini masih berada di angan-angan saya, belum dalam kejadian yang benar-benar terjadi. Tetapi tahukan, setelah saya menuliskan huruf “F” untuk mengawali tulisan ini, bukan lagi dapat kita sebut sebagai cita-cita, melainkan sebuah fakta yang belum sepenuhnya menjadi fakta. Ketika saya menuliskan huruf “FA” artikel ini adalah sebuah fakta yang tingkatannya lebih tinggi dibanding ketika saya menuliskan “F” saja. Dan ketika saya menulikan “FAK” artikel ini tetap menjadi fakta yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan saat saya menuliskan “F” dan “FA” begitu seterusnya, hingga saya mengakhiri artikel ini dengan menuliskan “.” Artikel ini tetap menjadi fakta.
      Dari contoh di atas, sangat mudah kita artikan seperti apa kejadian-kejadian yang termasuk cita-cita dan seperti apa kejadian yang termasuk fakta. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, kita serigkali tak mampu memilah-milah keadaan atau kejadian mana yang merupakan fakta dan keadaan yang sebenarnya hanya berlangsung dalam khayalan atau imajinasi daya pikir kita atau yang seringkali kita sebut sebagai cita-cita. Berdasarkan materi perkuliahan filsafat minggu lalu, Bapak Marsigit menyampaikan metode hidup dibagi menjadi dua yaitu fakta dan potensi. Lalu apakah potensi dan cita-cita merupakan suatu hal yang sama?
      Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, potensi adalah kemampuan yang memungkinkan dapat dikembangkan, kesanggupan untuk berbuat atau melakukan sesuatu, daya, sesuatu yang dipandang dapat menghasilkan (menguntungkan), sedangkan cita-cita adalah keinginan, angan-angan, kehendak yang selaluada dalam pikiran, tujuan yang sempurna akan dicapai atau dilaksanakan. Berdasarkan pengertian potensi dan cita-cita di atas, apakah anda apakah potensi termasuk cita-cita? Apakah potensi merupakan himpunan bagian dari cita-cita?
      Menurut saya “YA”, mari belajar dari contoh “Sejak kecil Ibnu pandai bermain gitar” ini merupakan suatu potensi. Setiap orang yang memiliki potensi, (kemampuan yang memungkinkan dapat dikembangkan). Dari kata-kata memungkinkan dapat dikembangkan, berarti sesorang yang memiliki potensi memiliki “keinginan, angan-angan, kehendak yang ada dalam pikiran”. Hal ini sesuai dengan definisi cita-cita. “Ibnu ingin menjadi seorang komposer lagu” ini merupakan cita-cita. Sama halnya bila “Ibnu tidak ingin mengembangkan kepandaiannya bermain gitar karena ibunya tidak menyukai bakatnya ini”, inipun juga merupakan suatu cita-cita. Jadi, setiap ada potensi pasti ada cita-cita, entah itu cita-cita untuk mengembangkan dan mempertahankan, atau cita-cita untuk menghilangkan dan melupakan.
      Tetapi lain halnya jika saya memiliki cita-cita menjadi seorang penulis, tetapi saya tidak memiliki keahlian dalam berkata-kata, merangkai bait-bait kata, dan berimajinasi tentang apa yang saya tulis, inilah yang disebut cita-cita ada tapi potensi tidak ada. Jadi belum tentu yang memiliki cita-cita juga memiliki potensi.
      Dihubungkan dengan apa yang sedang kita pelajari sekarang, yaitu filsafat. Berdasarkan salah satu sumber dari internet yang saya ambil, filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Berdasarkan kalimat yang saya “tebalkan” apakah filsafat adalah suatu cita-cita? Jika iya, mengapa? Mohon penjelasan dari bapak, terima kasih.