Rabu, 16 Januari 2013

FILSAFAT DAN KARAKTER Oleh : Eka Sulistyawati (09301244002)


      Dalam waktu-waktu dekat ini kata-kata karakter sudah tidak asing lagi bagi kita. Mengapa? Banyak sekali orang-oarang, sekelompok orang, universitas, sekolah, dan instansi menggalakkan dan mengunggulkan pendidikan karakter sebagai tema atau slogannya. Lalu apakah yang sebenarnya disebut karakter?
      Dalam ilmu psikologi karakter adalah sifat. Dalam versi lain karakter adalah berarti dari siapa dan untuk siapa. Kita tidak bisa menyebut bahwa orang Belanda itu tidak memiliki karakter, karena telah menjajah dan menguasai Indonesia selama 350 tahun. Menurut definisi karakter (dari siapa dan untuk siapa) orang Belanda itu sangat memiliki karakter, karena dapat menguasai Indonesia. Jika kamu seorang mahasiswa karakter seorang mahasiswa itu tentu lain dengan karakter dosen, lain dengan karakter orang tua. Walapun dalam kenyataannya ada karakter umum, yaitu karakter yang disepakati oleh negara, bangsa, sekelompok orang, dll.
      Karakter juga bisa diartikan sebagai sifat yang melekat pada diri objek. Misal hijau adalah karakter dari daun, cream adalah karakter dari tembok, kamu mengantuk itu karakter dirimu sekarang. Setiap benda memiliki karakter masing-masing.
      Tak jarang kita menilai sifat orang lain. Misalnya engkau menganggap kakakmu pelit, itu berarti engkau telah menjatuhkan sifat kepada kakakmu. Dalam filsafat, engkau menjatuhkan karakter kepada kakakmu itu sama hebatnya dengan jatuhnya bom atom di Hirosima. Hati2 menjatuhkan karakter. Anteseden (karakter 1 jatuh pada karakter 2). Oleh karena itu berbicara karakter yang dihubungkan dengan filsafat, dalam kuliah filsafat kita diharapkan untuk tidak pasif, pasif dalam hal ini adalah kita menganggap dengan berangkat kuliah, mendengarkan bapak Dr Marsigit berbicara, kita akan mendapatkan hal yang banyak dari filsafat karena yang demikian itu berarti kita mengharapkan Bapak Marsigit menjatuhkan karakternya. Maka dari itu jadilah diri kita sendiri, jadikanlah pak Marsigit sebagai sumber dalam belajar filsafat, sarana belajar filsafat, karena dari elegi-elegi buatan beliau kita bisa berlatih berfilsafat. Karena apabila tidak demikian, pak Marsigit sama saja menjatuhkan beberapa karakter dari kita.
      Implikasinya dalam pembelajaran, guru hobi menjatuhkan karakter siswanya. Siswanya ingin dijadikan bayang-bayangannya. Seperti yang bapak Marsigit tuliskan dalam “Elegi Seorang Guru Menggapai Kesempatan, guru dikatakan menutup sifat murid-muridnya apabila, jika guru mendiskripsikan ciri-ciri muridnya secara sepihak. Jika guru mengatakan muridnya sebagai malas, padahal dia belum tentu malas, maka yang demikian itu guru telah menutupi sifat-sifat muridnya. Jika guru mengatakan bahwa muridnya bodoh, padahal belum tentu ia bodoh, maka yang denikian itu guru telah menutupi sifat muridnya. Ketika guru berbicara sementara murid mendengar, maka itu adalah proses menutupi sifat-sifatnya. Ketika guru bekerja sementara murid melihat, maka itu adalah proses menutupi sifatnya. Ketika guru berinisiatif sementara murid hanya menunggu, itu adalah proses menutupi sifatnya. Ketika guru menyuruh siswa maka itu adalah kejadian lain dari kegiatan menutupi sifat muridnya”.  Mengapa seseorang bisa menjatuhkan karakter kepada orang lain? Dasarnya adalah berkuasa. Engkau duduk di kursi, diam, itu engkau telah berkuasa duduk, engkau berdiri itu artinya engkau berkuasa untuk berdiri.  
      Disesuaikan dengan maraknya pengaplikasian pendidikan karakter di instansi-instansi pendidikan. Masih banyak kita temui orang atau siswa-siswa yang tawuran. Tawurannya seorang kyai berbeda dengan tawurannya seorang rektor, tawurannya seorang mahasiswa berbeda dengan tawuranya orang awam. Tidak jarang kita dengar ada mahasiswa yang tawuran, itu dikarenakan mereka tidak bisa mengelola amarahnya. Maka sebenar-benarnya hidup adalah mengolah dan mengelola karakter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar