Rabu, 16 Januari 2013

Kesimpulan Berfilsafat Oleh : Eka Sulistyawati (09301244002)


Tidak mudah bagi para mahasiswa (umumnya) khususnya bagi saya untuk mempelajari filsafat. Mata kuliah filsafat mata kuliah yang baru pertama kali saya tempuh, karena pada jenjang pendidikan sebelumnya saya belum pernah mempelajari mata kuliah atau mata pelajaran filsafat. Awalnya saya hanya bertanya kepada ayah saya, “Pak, filsafat niku mempelajari nopo to?”(dalam bahasa Jawa). Dari pertanyaan saya tersebut, bapak saya menjawab, “Kae nduk, pokoke nek arep nerangke gelas, iso tok delok seko sudut pandang sik bedo-bedo. Misale gelas kui alat kanggo wadah banyu, utawa gelas kui perabot rumah tangga sebangsa piring dan garpu”. Menanggapi jawaban ayah saya dipikiran saya terbersit filsafat itu mempelajari definisi tentang suatu hal yang dilihat dari berbagai macam sudut pandang penglihatannya, rumit, dan jawabannya tidak pasti itulah filsafat menurut saya dulu. Pemikiran saya tentang filsafat yang tidak pasti jawabannya karena notabennya saya mempelajari matematika yang jawabannya pasti, misalnya saja 1+1=2 hal ini sangat berlawanan dengan definisi filsafat yang saya miliki pertama kali.
       Namun, setelah mempelajari filsafat dalam perkuliahan pertama saya. Objek kajian adalah yang ada dan yang mungkin. Yang ada berupa fakta dan yang mungkin ada adalah potensi. Potensi biasanya dapat diwujudkan sebagai suatu cita-cita. Sebelum saya menulis artikel ini, artikel ini adalah sebuah cita-cita, artikel ini masih berada di angan-angan saya, belum dalam kejadian yang benar-benar terjadi. Tetapi tahukah, setelah saya menuliskan huruf “K” untuk mengawali tulisan ini, bukan lagi dapat kita sebut sebagai cita-cita, melainkan sebuah fakta yang belum sepenuhnya menjadi fakta. Ketika saya menuliskan huruf “KE” artikel ini adalah sebuah fakta yang tingkatannya lebih tinggi dibanding ketika saya menuliskan “K” saja. Dan ketika saya menulikan “KES” artikel ini tetap menjadi fakta yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan saat saya menuliskan “K” dan “KE” begitu seterusnya, hingga saya mengakhiri artikel ini dengan menuliskan “.” Artikel ini adalah sebuah fakta.
      Dari contoh di atas, sangat mudah kita artikan seperti apa kejadian-kejadian yang termasuk cita-cita dan seperti apa kejadian yang termasuk fakta. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, kita serigkali tak mampu memilah-milah keadaan atau kejadian mana yang merupakan fakta dan keadaan yang sebenarnya hanya berlangsung dalam khayalan atau imajinasi daya pikir kita atau yang seringkali kita sebut sebagai cita-cita. Berdasarkan materi perkuliahan filsafat minggu lalu, Bapak Marsigit menyampaikan metode hidup dibagi menjadi dua yaitu fakta dan potensi. Lalu apakah potensi dan cita-cita merupakan suatu hal yang sama?
      Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, potensi adalah kemampuan yang memungkinkan dapat dikembangkan, kesanggupan untuk berbuat atau melakukan sesuatu, daya, sesuatu yang dipandang dapat menghasilkan (menguntungkan), sedangkan cita-cita adalah keinginan, angan-angan, kehendak yang selaluada dalam pikiran, tujuan yang sempurna akan dicapai atau dilaksanakan. Berdasarkan pengertian potensi dan cita-cita di atas, apakah anda apakah potensi termasuk cita-cita? Apakah potensi merupakan himpunan bagian dari cita-cita?
      Menurut saya “YA”, mari belajar dari contoh “Sejak kecil Ibnu pandai bermain gitar” ini merupakan suatu potensi. Setiap orang yang memiliki potensi, (kemampuan yang memungkinkan dapat dikembangkan). Dari kata-kata memungkinkan dapat dikembangkan, berarti sesorang yang memiliki potensi memiliki “keinginan, angan-angan, kehendak yang ada dalam pikiran”. Hal ini sesuai dengan definisi cita-cita. “Ibnu ingin menjadi seorang komposer lagu” ini merupakan cita-cita. Sama halnya bila “Ibnu tidak ingin mengembangkan kepandaiannya bermain gitar karena ibunya tidak menyukai bakatnya ini”, inipun juga merupakan suatu cita-cita. Jadi, setiap ada potensi pasti ada cita-cita, entah itu cita-cita untuk mengembangkan dan mempertahankan, atau cita-cita untuk menghilangkan dan melupakan.
Memiliki cita-cita tetapi tidak memiliki potensi
 
      Tetapi lain halnya jika saya memiliki cita-cita menjadi seorang penulis, tetapi saya tidak memiliki keahlian dalam berkata-kata, merangkai bait-bait kata, dan berimajinasi tentang apa yang saya tulis, inilah yang disebut cita-cita ada tapi potensi tidak ada. Jadi belum tentu yang memiliki cita-cita juga memiliki potensi. Dalam matematika seseorang yang memiliki cita-cita tetapi belum tentu memiliki potensi dapat digambarkan sebagai berikut :


 


Dihubungkan dengan apa yang sedang kita pelajari sekarang, yaitu filsafat. Berdasarkan salah satu sumber dari internet yang saya ambil, filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan.
      Setelah mengetahui objek kajian filsafat, perlu bagi kita untuk mempelajari macam-macam aliran filsafat beserta tokoh-tokohnya. Salah satu diantaranya adalah, aliran filsafat Foundationalisme, Formalisme, Intuisionisme, dan Dualisme. Sedangkan penjelasannya akan dituliskan sebagai berikut :
a.       Fondasionalisme
Jika kita membaca buku, bagaimana kita bisa mempercayai yang tertulis di buku itu. Kita membutuhkan penjelasan bahwa penulisnya kompeten dan mereka sangat ahli. Bagaimana kita bisa tahu mereka sangat ahli? Kita dapat mengatakan bahwa kita mengenal salah satu dari penulis buku itu dan dapat dipercaya. Mengapa dapat dipercaya? Kita bisa menjawab dari perilaku kesehariannya. Jika tidak diSTOP pertanyaan mengenai hal ini tidak akan ada habisnya.Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan lagi kebenarannya, dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut. Para penganut teori ini membedakan antara dua kepercayaan dalam pembenaran. Yaitu kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan.
·         Kepercayaan Dasar
Kepercayaan dasar adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya, sehingga dapat digunakan sebagai fondasi bagi kepercayaan-kepercayaan lain yang bersifat simpulan.
·         Kepercayaan Simpulan
Kepercayaan simpulan adalah kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau lebih kepercayaan dasar.
b.      Intuisionisme
Kapan kita bisa membedakan besar dan kecil, jika kita tidak bisa mengatakan kapan, kita termasuk golongan intuisinisme, tidak memakai permulaan. Begitu pula dengan kapan kita bisa membedakan laki-laki dan perempuan. Maka banyak sekali hal-hal yang kita tidak tahu kapan dimulainya, itulah yang disebut dengan intuisionisme. Apakah kita mengerti angka 2 setelah mengerti angka 1? Apakah setelah belajar di perguruan tinggi? Apakah mengerti setelah didefinisikan? Jawabannya TIDAK. Pemahaman kita tentang 2 itulah yang disebut intuisi, karena sejak kecil kita telah dibiasakan dengan “mata saya dua, kaki saya dua, telinga saya dua, dll”.
c.       Dualisme
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Contoh dari dualisme adalah pandangan tentang baik dan buruk, manusia duuiuiciptakan hanya laki-laki dan perempuan, tidak ada 80 % laki-laki, 20% perempuan, hal ini sesuai dengan kitabnya/ayatnya. Banci itu sebenarnya hanya pengaruh pikiran kita saja, cerita Amerika(transgender) yang memutuskan dirinya ingin menjadi laki-laki. Jika kita berusaha memeluk Agama Islam secara Kaffah, maka kita harus yakin bahwa tidak ada transgender, yang ada hanya laki-laki maupun perempuan. Contoh lain dualisme adalah habluminannas, habluminallah, sebagai makluk sosial maupun makhluk Tuhan. Hanya Tuhan ( Kaum Fatal), hanya manusia saja (Kaum Fital). Hidup itu hanya jarak antara Fatal dan Fital. Berdoalah seakan-akan kamu akan mati nanti, berusahalah kamu masih akan hidup 1000 tahun lagi.
Kita tidak hanya penganut formalisme, intuisionisme, ataupun dualisme saja. Tetapi kita itu menganut berbagai macam aliran, yaitu menganut formalisme sekaligus intuisionisme sekaligus dualisme sekaligus fondasionalisme, dll.
      Sebagai makhluk hidup, kita tidak mungkin selamanya berada pada tempat yang sama, kedudukan yang sama, dan pada keadaan yang sama. Sesungguhnya setiap hal yang kita lakukan dalam kehidupan ini selalu menembus dimensi ruang dan waktu, atau dengan kata lain kita selalu berada pada tempat, waktu, dan keadaan yang berbeda, inilah yang dinamakan dengan menembus ruang dan waktu.
Membahas mengenai menembus ruang dan waktu, seseorang yang hebat bukanlah seseorang yang memiliki tubuh kekar, juru pukul, bodyguard, dll tetapi seseorang yang hebat adalah seseorang yang bisa menembus ruang dan waktu. Tuhan menciptakan manusia dengan dimensi yang lengkap yaitu dimensi material, dimensi formal, dimensi normatif, dan dimensi spiritual, penjelasan mengenai dimensi-dimensi tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Dimensi material
Contoh terjun dari pesawat dengan parasut hal ini dapat dikatakan menembus udara.
b.      Dimensi formal
Contohnya dokumen SK Profesor, kenaikan pangkat, pengangkatan jabatan, Ijazah (Surat Keterangan Kelulusan), dll.
c.       Dimensi normatif
Contohnya pikiranku menembus ruang. Misalnya kita berpikir sedang berada di Melbourne, padahal badan kita sedang tidak berada di Melbourne, tetapi pikiran kita sudah sampai di Melbourne.
d.      Dimensi spiritual
Contohnya kekuatan, dan kecepatan doa sangatlah tinggi.
      Secara aksiomatis ruang adalah sesuatu yang memiliki dimensi (misal ruang dimensi dua, dimensi tiga, ruang sampel, ruang vektor, dll). Ruang dalam filsafat dalam wujud normatif, misalnya menembus dikenalnya dirimu di kampungmu, tidak bisa dikalahkan oleh siapapun, dan tidak bisa dibandingkan dengan orang lain.
      Untuk bisa memahami ruang kita menggunakan, sebaliknya untuk memahami waktu kita menggunakan ruang. Misalnya jam (ruang) menunjukkan waktu, jika kita melihat luar kita bisa mengerti ini siang atau malam, dll.
Berikut ini ada metodologi untuk menembus ruang dan waktu :
1.      Pemahaman kita tentang fenomenologi
Tokoh Husserr, ada dua macam yaitu idealisasi (menganggap sempurna sifat yang ada) dan abstraksi (kodrat, reduksi). Maka supaya bisa menembus ruang dan waktu harus bisa melakukan idealisasi dan abstraksi. Manusia tidak bisa terbebas dari idelisasi dan abtraksi. Contoh reduksi, kita hanya bisa melihat apa yang ada di depan kepalamu, di belakang kepala tidak bisa kita lihat, maka kepala dapat digerak-gerakkan sesuai kehendak kita. Kehendak itu akan membawa kita memandang dari sudut yang kita mau.
2.      Pemahaman tentang fondationalisme dan antifondationalism (intuisi)
a.       Fondationalisme
Jika kita membaca buku, bagaimana kita bisa mempercayai yang tertulis di buku itu. Kita membutuhkan penjelasan bahwa penulisnya kompeten dan mereka sangat ahli. Bagaimana kita bisa tahu mereka sangat ahli? Kita dapat mengatakan bahwa kita mengenal salah satu dari penulis buku itu dan dapat dipercaya. Mengapa dapat dipercaya? Kita bisa menjawab dari perilaku kesehariannya. Jika tidak diSTOP pertanyaan mengenai hal ini tidak akan ada habisnya.Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan lagi kebenarannya, dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut. Para penganut teori ini membedakan antara dua kepercayaan dalam pembenaran. Yaitu kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan.
·         Kepercayaan Dasar
Kepercayaan dasar adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya, sehingga dapat digunakan sebagai fondasi bagi kepercayaan-kepercayaan lain yang bersifat simpulan.
·         Kepercayaan Simpulan
Kepercayaan simpulan adalah kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau lebih kepercayaan dasar.
b.      Intuisionisme (Anti Fondationalisme)
Kapan kita bisa membedakan besar dan kecil, jika kita tidak bisa mengatakan kapan, kita termasuk golongan intuisinisme, tidak memakai permulaan. Begitu pula dengan kapan kita bisa membedakan laki-laki dan perempuan. Maka banyak sekali hal-hal yang kita tidak tahu kapan dimulainya, itulah yang disebut dengan intuisionisme. Apakah kita mengerti angka 2 setelah mengerti angka 1? Apakah setelah belajar di perguruan tinggi? Apakah mengerti setelah didefinisikan? Jawabannya TIDAK. Pemahaman kita tentang 2 itulah yang disebut intuisi, karena sejak kecil kita telah dibiasakan dengan “mata saya dua, kaki saya dua, telinga saya dua, dll”.
      Berbicara tentang menembus ruang dan waktu, terbersit dalam pikiran saya adalah mengejar cita-cita, berusaha mendapatkan apa yang ingin kita dapatkan, apa yang ingin kita lakukan, dan apa yang ingin kita peroleh. Untuk itu tidak kita pungkiri lagi sebagai makhluk yang memiliki hasrat, pasti manusia memiliki tujuan hidup (keinginan) untuk masa depannya. Namun tidaklah mudah untuk melakukan semua itu, perlu suatu strategi-strategi khusu untuk mencapainya. Selain strategi khusus, banyak sekali faktor yang mempengaruhi ketercapaian apa yang kita citakan, diantaranya adalah :
a.       Faktor Internal
Faktor internal adalah dorongan dalam diri yang berupa minat, bakat, sehingga dapat meimilih bidang apa yang akan dikembangkan untuk mencapai kesuksesan. Contohnya keinginan untuk menjadi seorang profesor pendidikan matematika, keinginan ini harus disesuaikan juga dengan bidang pendidikan yang kita tempuh, dan keahlian yang kita miliki.
b.      Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah dorongan dari luar (lingkungan). Misalnya dorongan dari orang tua, teman sejawat, saudara, dll. Maka tidaklah salah bagi orang Jawa yang mengatakan “Ojo Cedhak Kebo Gupak”, yang artinya kita harus selektif dalam memilih teman, yaitu teman yang bisa memberikan dorongan kepada kita untuk mencapai apa yang kita cita-citakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar