Rabu, 16 Januari 2013

“Jalaran Saka Kulino” Oleh : Eka Sulistyawati (09301244002)


      Artikel ini adalah artikel review kuliah Filsafat Pendidikan Matematika yang kedua. Dalam kuliah kemarin bapak Dr Marsigit bercerita sebagai berikut :
“Ada seorang laki-laki di Amerika Serikat, profesinya adalah seorang bintang film yang sukses. Ia ingin meneruskan dan “Nguri-uri” karirnya dengan cara ingin memiliki anak laki-laki. Tetapi pada kenyataannya ia memiliki seorang anak perempuan, anak perempuannya itu ia perlakukan seperti layaknya seorang laki-laki mulai dari cara berpakaian, dibiasakan dengan permainan laki-laki, dan semua hal yang berbau dunia laki-laki. Secara fisik anak perempuannya itu mendukung menjadi seorang laki-laki,  kalau dalam bahasa sekarang adalah TOMBOY. Seiring berjalannya waktu, orang tuanya meninggal, dia brusia 35 tahun. Ia memutuskan untuk menemui dokter dan berkonsultasi sebaiknya ia mnjd perempuan atau laki-laki. Dan pada suatu ketika ia memutuskan untuk mnjadi laki-laki”
      Berdasarkan cerita bapak Dr Marsigit di atas, dapat kita lihat betapa kuatnya pengaruh pikiran kita “The power of mind”, betapa kuatnya pengaruh dari suatu pembiasaan. Tak hanya orang Amerika saja yang menyadari kuatnya suatu pikiran dan pembiasaan tetapi orang Jawa juga mengenalnya. Hal ini didasari adanya suatu pepatah “Witing tresno jalaran saka kulino” yang artinya rasa cinta ada karena terbiasa.
      Berbicara mengenai pembiasaan, pada zaman nenek moyang kitapun, mereka telah mengenal pembiasaan, mengapa demikian? Coba kita perhatikan, nenek moyang kita dahulu telah mengenal “ADAT”, misalnya kenduri, yasinan, upacara pengangkatan pemimpin suku, dlsb. Apabila hal ini dikaitkan dengan masalah pendidikan, sebagai calon guru yang kelak akan menghadapi siswa yang bermacam-macam karakternya, hendaknya kita bisa mengadakan suatu aktivitas pembelajaran yang dapat membiasakan anak didik untuk bertingkah laku, berbicara, berpikir, dan melakukan aktivitas lainnya menurut kebiasaan yang baik. Guru tidak semata-mata hanya menyediakan, atau mendoktrin siswa-siswanya untuk bertingkah laku sesuai dengan norma dan kesopanan, tetapi guru juga harus mampu memberi suatu keteladanan.
      Kalian tahu permainan tetris? Pikiran manusia sama seperti permainan tersebut. Setiap input yang dimasukkan kedalamnya akan membentuk sebuah lapisan yang akan menumpuk terus menerus. Lapisan yang sama akan saling tarik menarik dan akan berkumpul menjadi satu. Lapisan-lapisan itu akan membentuk suatu susunan yang berpola, pola milikmu tentu berbeda dengan pola milikku dan miliknya. Perbedaan ini disebabkan karena caraku menyusun balok-balok tetris, tentu berbeda dengan caramu dan caranya menyusun balok-balok tetris itu. Cara menyusun balok tetris itu adalah perumpamaan dari suatu cara atau pola kita berpikir. Akan dibentuk seperti apa susunan balok tetris, pikiran kitalah yang mengendalikannya.
Masih mengenai permainan tetris yang merupakan perumpamaan dari pemikiran kita. Semakin lama dan semakin banyak kita menyusun balok-balok tetris tanpa disertai dengan pemilihan susunan pola yang tepat, balok-balok itu akan menyentuh “DINDING GAME OVER”. Ini sama halnya dengan cara berpikir kita, apabila pikiran kita dipenuhi dengan berbagai macam pilihan tanpa disertai keputusan yang tepat, kita tidak akan menemukan suatu jalan terang dari permasalahan yang kita hadapi. Hal ini terlihat dari cerita yang dikemukakan bapak Dr Marsigit di atas, “Dan pada suatu ketika ia memutuskan untuk menjadi laki-laki”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar